Pada masa pertumbuhan
dan perkembangan anak, peran orang tua sangat penting untuk mengajarkan banyak
hal. Beberapa hal yang diajarkan orang tua kepada anaknya adalah membaca doa
sebelum dan sesudah makan, membaca doa sebelum tidur dan sesudah bangun tidur,
menggunakan tangan kanan, mengucapkan terima kasih, bersalaman dengan orang
yang lebih tua, dan masih banyak hal lainnya. Salah satu budi pekerti yang
harus diajarkan orang tua kepada anaknya adalah kejujuran. Kejujuran harus
ditanamkan sejak dini, karena kejujuran erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sehari – hari kegiatan
yang sering terjadi adalah transaksi. Di dalam transaksi, terkadang ada
kejadian yang melibatkan kejujuran. Misalnya, sang penjual memgembalikan jumlah
kembalian uang melebihi jumlah yang seharusnya. Dalam perhitungan matematika
jika kita membeli satu kilogram manggis dengan harga Rp 32.000 dan kita
membayarnya dengan uang Rp 50.000, maka uang kembaliannya adalah Rp 18.000.
Mudah bukan? Dalam teori, kita mudah sekali menjawab jawaban yang benar, namun
dalam realita belum tentu demikian. Misalnya pedagang manggis tersebut
memberikan uang kembalian Rp 19.000. Kembalian tersebut hanya lebih Rp 1000 dari
yang seharusnya bukan? Namun alangkah lebih baik jika tidak menyepelekan uang Rp
1000 tersebut, karena dalam soal matematika jika kita membiarkan Rp 19.000
tetap menjadi jawabannya, maka jawaban itu sudah pasti salah.
Misalnya timbul
pertanyaan dan pernyataan seperti ini.
“Kenapa saya harus mengembalikan? Lagipula
hanya Rp 1000.”
“Salah pedagangnya
sendiri yang memberikan uang kembalian yang bukan seharusnya.”
Lalu apa yang harus
kita lakukan?
Jika kita menanamkan
kejujuran, tentunya kita akan memberikan kelebihan uang kembalian tersebut.
Saya rasa semua orang pernah mengalami
hal tersebut dalam transaksi. Saya juga pernah mengalaminya. Ketika uang
kembalian melebihi dari yang seharusnya. Saya mengembalikan uang tersebut
kepada sang pedagang.
“Bu, ini kembaliannya
kelebihan.” Ujar saya seraya mengembalikan kelebihan uang.
“Oh iya ya? Oh iya
saya salah mengembalikan” Ujar sang pedagang seraya menghitung ulang dan
tersenyum.
“Terima kasih ya!”
Ujar sang pedagang lagi dengan wajah ceria.
Ilustrasi diatas
merupakan wujud nyata yang sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari. Indah
bukan? Ketika kita jujur, orang lain turut senang dan menghargai kejujuran
kita. Kejujuran yang saya lakukan adalah kejujuran kecil, tapi kejujuran ini berdampak besar bagi kehidupan saya. Saya merasa senang karena sudah jujur.
Kejujuran itu penting sekali
ditanamkan sejak dini, agar menciptakan generasi bangsa yang tidak mudah
bersikap curang. Salah satu contoh kecurangan yang sering terjadi yaitu dalam
Ujian Nasional. Ujian Nasional merupakan “ritual” yang harus dilalui peserta
didik sebelum dinyatakan lulus. Banyaknya praktik kecurangan, membuat pemerintah
terus berupaya untuk menekan tingkat kecurangan ini. Salah satu cara
mengantisipasinya adalah membuat soal UN menjadi lima paket, dua puluh paket,
dan lain sebagainya. Sewaktu saya SMA, guru bimbingan konseling saya mengatakan
bahwa ketidakjujuran itu membuat hati menjadi tidak tenang.
“Kalau mengerjakan
soal usahakan yang jujur, kalau kalian tidak jujur dan nilai kalian bagus pasti
ada rasa bersalah di dalam diri kalian. Kalian bisa membohongi orang lain tapi
kalian tidak bisa membohongi diri sendiri.” Kata beliau saat itu.
Dalam aspek ini,
kejujuran masuk kedalam norma
kesusilaan. Sanksi dalam norma kesusilaan adalah merasa ketidaktenangan di
dalam hati.
Bicara soal kejujuran adalah hal yang
menarik, karena jika seseorang jujur, ia tidak akan melakukan tindakan kriminal.
Guru Bahasa Indonesia saya sewaktu SMA pernah memberikan salah satu ilustrasi kejujuran
dalam kehidupan.
“Kalau ada sesuatu
diatas meja dan itu bukan milik kamu, kamu ambil gak?. Kalau kamu jujur, pasti
kamu tidak akan mengambilnya, karena itu bukan punya kamu.” Kurang lebih
seperti itu perkataan beliau.
Hal ini sangat masuk
akal, karena disaat ada kesempatan “mengambil” sebesar apapun, jika seseorang
memiliki sikap jujur, pasti dia tidak akan mengambil yang bukan miliknya, atau
jika pun mengambilnya, maka bermaksud untuk mengembalikan kepada yang punya
benda tersebut.
Kejujuran juga sangat erat kaitannya
dengan aspek keagamaan. Lho? Apa iya? Tentu saja. Seseorang yang jujur pasti
merasa diawasi oleh Tuhannya. Seseorang yang meyakini bahwa Allah Maha Melihat,
pasti tidak akan melakukan hal tercela. Seseorang yang takut akan dosa pasti
tidak akan melakukan hal tercela dan salah satunya adalah berbuat curang.
Kejujuran itu penting ditanamkan sejak dini,
agar generasi penerus bangsa ini tidak melulu memikirkan how to get a much money? How and
how?, yang pada akhirnya menghalalkan segala cara untuk memperkaya diri. Kejujuran itu dekat dengan rasa bersyukur. Karena jika kita jujur atas apa yang kita miliki, atas apa yang kita dapatkan, kita akan mendapatkan rasa kepuasan batin, rasa bersyukur atas apa yang telah Allah beri.
Dalam perilaku
konsumsi, jika seseorang memiliki pendapatan yang tinggi, maka semakin
bertambah pula konsumsinya. Seseorang yang memiliki pendapatan yang tinggi juga
cenderung memiliki gaya hidup yang tinggi. Inilah mengapa banyak praktik
kecurangan dalam kehidupan. Mengapa orang – orang cenderung bersikap demikian?
Hal ini ada kaitannya dengan Hedonic Treadmill
Saya pernah membaca
mengenai Hedonic Treadmill dalam sebuah blog.
Misalnya ketika
seseorang memiliki penghasilan Rp 5.000.000 uang tersebut habis terpakai, dan
ketika ia memiliki penghasilan Rp 50.000.000 uang tersebut juga habis terpakai.
Mengapa demikian?
Hal ini terjadi karena
disaat ia memiliki penghasilan Rp 5.000.000, ia hanya bisa mengkredit motor.
Lalu, disaat penghasilannya Rp 50.000.000, hal yang diinginkannya juga berubah,
yang tadinya memiliki motor saja cukup, sekarang beralih untuk memiliki mobil,
dan begitu seterusnya.
Hal inilah yang
membuat praktik kecurangan terjadi. Adanya rasa ketidakpuasan terhadap apa yang
sudah dimiliki. Praktik kecurangan juga erat kaitannya dengan lingkungan.
Seseorang yang terbiasa hidup di lingkungan mewah, maka ia cenderung mengikuti
kebiasaan hidup orang – orang di lingkungannya. Lalu apa yang terjadi jika
orang tersebut tidak memiliki daya konsumsi yang sama dengan rekannya? Tentunya
akan terjadi praktik kecurangan seperti korupsi misalnya.
Kejujuran merupakan hal yang sensitif.
Ini menyangkut keberanian seseorang. Seseorang yang jujur akan berani
mengungkap kebenaran, dan seorang yang jujur akan tegas menolak segala bentuk
kecurangan.
Nah, maka dari itu
sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, mari kita gerakkan sikap kejujuran.
Aku anak jujur, karena jujur membawa hal yang mujur. Aku anak jujur, karena aku
tak mau kepribadianku berjalan mundur. Jujurlah pada diri sendiri, Jujurlah
pada dunia, Jujurlah pada Allah, karena kejujuran dekat dengan kedamaian.
Yuk Jadi Orang yang
Jujur :)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar