Rabu, 15 Februari 2017

Sebuah Pilihan dan Proses Menjadi Dewasa



Assalamu’alaikum sahabat!

15 Februari 2017, hari ini diselenggarakan pilkada, salah satunya untuk DKI Jakarta. Sudah menggunakan hak pilihnya hari ini?. Pada postingan kali ini, saya tidak akan membahas terlalu banyak mengenai pilkada, saya akan membahas sebuah pilihan dan proses menuju dewasa. Kenapa saya bahas pilkada sebagai pembuka? Karena momentumnya tepat sekali tentang sebuah pilihan. 

Well, sebelum berlangsungnya pilkada hari ini, banyak teman – teman saya mulai dari teman semasa SD, SMP, SMA, membicarakan soal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Ada yang memilih si nomor 1, 2, maupun 3. Mereka berargumen dengan lugasnya. Saya memperhatikan apa yang mereka tuliskan melalui media sosial. Saya takjub! Kenapa? Karena saya ingat betul, perilaku teman – teman saya semasa sekolah.  Semasa sekolah, saya tidak pernah mendengar mereka berargumen mengenai politik selugas itu. Ini semua terjadi ketika mereka sudah menjadi mahasiswa dan mahasiswi. Berbagai artikel mereka share. Mereka berpendapat, bahkan juga ada yang adu pendapat, layaknya sebuah debat yang beberapa hari lalu diselenggarakan di televisi. Saya berpikir rupanya kuliah bisa mengubah pola pikir teman – teman saya. Rupanya pola pikir teman – teman saya sudah mulai dewasa sekarang, gumam saya dalam hati. Rata – rata teman saya semasa SMA yang seru sekali membahas pilkada. Rata – rata juga teman saya masuk perguruan tinggi negeri dan mengikuti organisasi. Rasa takjub saya tidak berhenti disitu saja, karena teman – teman saya juga sudah mulai menggunakan bahasa yang diplomatis. Kapabel, kredibilitas, dan kata – kata resmi lainnya lugas sekali mereka ketik dalam sebuah chat grup. Kadang, ada juga yang memakai sapaan “saya” yang jarang sekali terdengar semasa sekolah disela – sela perbincangan pada jam istirahat.

Saya tidak banyak berargumen dalam sebuah chat grup. Silent Reader. Ya, itulah saya. Saya memang diam, tapi saya memperhatikan. Perkuliahan membuat teman – teman saya menjadi lebih dewasa. Semoga saja argumen mereka berdasarkan fakta yang ada, bukan hanya sebatas rasa. 

Kuliah. Tadi saya sudah membahas soal pola pikir teman saya yang berubah karena kuliah, sekarang saya akan membahas tentang sebuah pilihan, salah satunya untuk memilih universitas. Saat saya SMA dulu, hampir semua mengidam – idamkan masuk perguruan tinggi negeri (PTN), ada yang mau masuk UI, UGM, ITB, dan sebagainya, dan saya termasuk orang yang mengidam – idamkan masuk PTN. Berbagai jalur kami ikuti mulai dari jalur SNMPTN, SBMPTN, Mandiri. Manusia berhak berencana, namun tetap Allah yang menentukan. Pengumuman demi pengumuman tes berlalu begitu saja. Ada yang berhasil masuk PTN, ada yang berhasil masuk PTS, ada yang menjalani perkuliahan di Universitas Kehidupan. Semuanya berhasil bagi saya. Kini mereka sudah memasuki semester empat. Dua tahun sudah terlampaui lika liku masa kuliah sejak lulus SMA di tahun 2015. Kita tinggalkan dulu perbincangan mengenai PTN. Kali ini kita akan bahas mengenai PTS dan Universitas Kehidupan. Ada dua pilihan ketika seseorang ingin kuliah di PTS. Pilihan pertama adalah kuliah reguler, layaknya mahasiswa mahasiswi PTN, pilihan kedua adalah kuliah sambil bekerja. Ada dua perbedaan waktu untuk kuliah di PTS, semua sesuai pilihan masing – masing. 

Dua tahun sudah saya menunda untuk kuliah, banyak pelajaran berharga selama dua tahun ini. Pikiran sempit saya tentang sebuah pilihan mulai meluas, rasa underestimate  saya tentang sebuah pilihan mulai berubah menjadi rasa menghargai. Saya rasa masih ada sikap Underestimate  sampai detik ini. Underestimate untuk berbagai objek, mulai dari sebuah instansi, program yang dicanangkan, individu dan sebagainya. Dulu saya berpikir bahwa hanya orang – orang yang masuk PTN yang sudah pasti keren! Tapi dua tahun ini saya mengalami perubahan dalam berpikir dan menilai. 

Saya memiliki teman yang memutuskan untuk menunda setahun kuliah, lalu sekarang ia sudah memasuki semester dua di salah satu PTS di Jakarta. Tahun ini, tepat dua tahun sudah saya menunda, dua tahun saya menunggu apa yang saya inginkan sejak masa sekolah. Tahun ini pula saya memutuskan tentang sebuah pilihan. Realistis. Tidak ada yang salah tentang sebuah cita – cita, namun saya memilih untuk realistis demi mewujudkan cita – cita. Tahun ini saya memutuskan untuk kuliah sambil kerja di salah satu PTS di Jakarta. Jika saya sudah pasti menjadi Maba (Mahasiswa Baru), nanti saya posting lagi cerita saya hehe. Mengapa saya tidak berusaha tes untuk masuk PTN lagi? Padahal ini adalah tahun terakhir saya bisa masuk PTN, alasannya sederhana sekali, dua tahun yang saya lalui ini sangat berarti. Saya bisa menghargai sebuah pilihan. Saya mencoba menghilangkan rasa underestimate  saya dan banyak pelajaran lainnya. Saya mencoba menjadi tangguh, berjalan diatas kaki sendiri. Saya ingin membuat diri saya bangga kepada diri saya sendiri. Membangun rasa kebanggaan pada diri sendiri tidaklah mudah, maka dari itu saya memutuskan untuk kuliah sambil bekerja, agar saya menjadi mandiri, agar saya merasakan perjuangan orang tua saya membiayai masa sekolah saya, agar saya menghargai alat tulis pemberian orang tua, agar saya menghargai buku pelajaran yang dibelikan orang tua saya kepada saya.  Sering sekali saya mendengar keluh kesah orang tua “Anak mah minta bukunya aja merengek, maunya cepet dibeliin, setelah dibeliin, bukunya dibaca juga nggak.” Pernah mendengar kata – kata itu?. Mungkin saya adalah salah satu anak yang merengek minta dibelikan buku pelajaran, namun saat sudah dibelikan, buku itu saya simpan rapih dalam rak buku.

Sebuah keputusan pasti ada konsekuensi dan pertanggungjawabannya. Konsekuensi yang saya terima apabila saya kuliah sambil bekerja? Ya sudah pasti saya akan mengalami kehidupan monoton. Pagi bekerja, malam kuliah, atau senin sampai jumat bekerja, sabtu dan minggu kuliah. Tidak ada organisasi. Apa itu BEM? Apa rasanya jadi BEM? Saya tidak akan mengalami masa – masa kuliah seperti kuliah pada umumnya. Namun, ke-monoton-an itu memotivasi saya untuk meng-create  sesuatu.

Well, sekarang saatnya kita menuju ke Universitas Kehidupan. Dua tahun sudah saya menimba ilmu di Universitas Kehidupan. Ada juga salah satu teman saya yang masih kuliah di Universitas Kehidupan. Saya pernah bertanya pada teman saya, anggap saja namanya Mentari.

“Mentari tahun ini lu mau kuliah di mana?” Tanya saya.

“Kayaknya gw nunda lagi Vel, gw gak tau kapan gw bisa kuliah, mau sih kuliah cuma ada beberapa kendala………..” Mentari menguraikan panjang sekali dalam sebuah chat.

Saya terharu sekali membaca uraian panjang teman saya mengenai kuliah. Dia menuliskan keinginan, harapan, dan lain sebagainya. Saya paham betul bahwa teman saya ini ingin sekali kuliah. Saya belajar banyak dari teman saya, rupanya teman saya menjadi pribadi yang bersabar dan senantiasa bersyukur. *Semoga kamu cepat kuliah ya, tak sabar menunggu berita bahagia darimu, kawan*

Hidup itu pilihan. Cak lontong, seorang pelawak yang lucu, memberi saya sebuah gambaran kehidupan. Beliau pernah bilang yang intinya, anak tidak bisa memilih orang tua dan orang tua tidak bisa memilih anak. Benar sekali. Allah menciptakan dan menyatukan kita dalam keluarga masing – masing. Syukuri dan cintai kedua orang tua kita.

Bagi saya, semua yang ada di PTN, PTS, kuliah sambil bekerja, yang masih bersabar untuk kuliah, semuanya keren! Saya tahu rasanya jadi anak rantauan demi mengejar cita – cita, karena banyak teman saya yang merantau demi kuliah dan mereka menceritakan rasanya jauh dari orang tua dan mengalami homesick. Ada juga cerita dari teman saya yang berjuang untuk kuliah sambil bekerja dan ada teman saya yang masih bersabar karena belum kuliah. Kita semua hebat teman!

Sebagai penutup pembahasan yang cukup panjang ini, saya akan berandai – andai. Beberapa tahun ke depan, mungkin wajah teman – teman saya akan terpampang di televisi,  di baliho, maupun di media massa. Ada yang akan menjadi rekan dalam satu partai, ada yang menjadi lawan dalam sebuah pemilihan kepala daerah bahkan presiden, ada yang menjadi ahli dibidangnya masing – masing, ada yang menjadi publik figur, pengusaha, pekerja kantoran dan sebagainya. Doa saya semoga kelak teman – teman saya menjadi manusia yang bermanfaat. Semoga mereka bisa menjadi pribadi teladan. Semoga generasi bangsa bisa terus maju, dengan pemimpin – pemimpin yang silih berganti. Saya pernah ingin menjadi anggota MPR RI, seorang Menteri, dan sebagainya. Well, kalau pengandaian saya terjadi, saya hanya ingin mengatakan kepada teman -  teman saya, tetaplah menjadi pribadi yang terus menjadi baik, ingat Allah selalu, jangan korupsi hehe :)

Salam Lestari dari Novelia Dwi Lestari
Calon pengusaha sejati
Calon anggota MPR RI
Calon Menteri
Calon Istri
hehehehe                     

Wassalamu’alaikum

Selamat menentukan pilihan ^^

Tidak ada komentar :

Posting Komentar