Sabtu, 24 September 2016

Seolah Lupa



Assalamu'alaikum

Sebuah renungan di hari ini dan di hari yang telah dilalui. Kami hanyalah manusia yang diberi nyawa oleh-Nya. Dilahirkan dari rahim seorang Ibu, dan dicintai pula oleh seorang Ayah. Mencoba hidup di dunia dengan segala problemanya, menemui teman - teman yang menjatuhkan atau membangkitkan. Menjalani kehidupan dengan senyum pun duka.

Namun......

Manusia seolah lupa bahwa tidak semua hal adalah kegelapan, tidak semua hal adalah ketidakadilan, tidak semua hal adalah kerugian.

Manusia seolah lupa bahwa tidak selamanya perpisahan adalah sebuah akhir. Bahkan perpisahan adalah hal yang menguatkan rindu antara satu sama lain. Tidak selamanya juga pertemuan selalu menjadi hal yang pertama, boleh jadi itu adalah pertemuan yang terakhir kalinya.

Banyak manusia yang dipertemukan dengan sahabatnya di dunia ini, namun seolah mereka lupa caranya menyayangi. Manusia selalu mengingat keburukan manusia lainnya dan seolah lupa bahwa dirinya mempunyai keburukan pula.

Dipertemukan dalam suatu perkumpulan, menjalani hari bersama dengan setumpuk program, menjalani rutinitas sebagai siswa, mahasiswa dan bahkan manusia yang masih belajar. Namun, manusia sekali lagi suka mengeluh mengatakan ini tidak mudah dan sebagainya. Mereka seolah lupa bahwa sesudah masa itu berakhir, mereka akan merindukan masa - masa yang dikeluhkannya dahulu. Manusia juga seolah lupa, bahwa tantangan demi tantangan justru akan menguatkan mereka.

Itulah manusia yang seolah lupa, sampai - sampai mereka lupa menjaga kesucian diri dan jiwa dengan fitrahnya. Fitrah untuk mencintai, menyayangi dan sebagainya. Banyak sekali manusia yang mudah membuat "janji" tanpa sebuah bukti dan wali juga saksi. Ketika mereka membuat "janji" antara lawan jenis, mereka juga mudah memutuskannya, layaknya sebuah layangan yang telah terbang dan mereka gunting begitu saja benangnya.

Manusia seolah lupa bahwa tidak selamanya ia hidup, ada sedetik demi sedetik kematian yang akan memanggilnya. Manusia seolah lupa untuk apa ia hidup? padahal tugasnya menjadi khalifah di bumi. Manusia seolah lupa akan apa yang dimilikinya sekarang, jika sukses dan terkenal mereka merasa itu adalah jerih payahnya, tanpa mengingat air mata yang mengalir di setiap doa ketika mereka bersujud dengan Rabb-Nya. Meminta dikaruniai ini dan itu, namun ketika sudah dapat, mereka seolah lupa siapa yang memberi semua itu..

Manusia seolah lupa bahwa bahagia sangat sederhana, sesederhana berbagi sebuah senyuman. Entah, manusia memang sering lupa bahwa ia akan kembali pada-Nya.

Mungkin butuh keheningan dan kesunyian malam untuk mengenal siapa dirinya. Di ruang yang senyap, sunyi, hanyalah ia dan Rabbnya. Sejatinya, Allah yang selalu membahagiakan hamba-Nya. Allah yang memberi cobaan namun Allah tidak akan memberi cobaan melebihi batas kemampuan. Allah menguji manusia agar manusia menjadi hamba-Nya yang tangguh. Manusia seolah lupa bahwa Allah tidak melihat mereka dari wajah,kekayaan dan hal dunia lainnya. Allah hanya melihat taqwa hamba-Nya. Maka, jika ingin dekat dengan Rabbnya, bertaqwalah.

Dan manusia harus ingat bahwa, Allah selalu dekat dengan hamba-Nya.

Wassalamu'alaikum

NB : Ini tulisan saya yang sudah cukup lama. Saya post pertama kali tanggal 03 Mei 2014 di jejaring sosial. Setelah membacanya lagi, well hmmm ya, saya merasa lupa T,T Tulisan ini ditulis untuk mengingatkan diri saya pribadi sebenarnya dan untuk menasihati diri sendiri pula.

Rabu, 21 September 2016

Kejujuran Kecil yang Berdampak Besar



Pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak, peran orang tua sangat penting untuk mengajarkan banyak hal. Beberapa hal yang diajarkan orang tua kepada anaknya adalah membaca doa sebelum dan sesudah makan, membaca doa sebelum tidur dan sesudah bangun tidur, menggunakan tangan kanan, mengucapkan terima kasih, bersalaman dengan orang yang lebih tua, dan masih banyak hal lainnya. Salah satu budi pekerti yang harus diajarkan orang tua kepada anaknya adalah kejujuran. Kejujuran harus ditanamkan sejak dini, karena kejujuran erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat.

Dalam kehidupan sehari – hari kegiatan yang sering terjadi adalah transaksi. Di dalam transaksi, terkadang ada kejadian yang melibatkan kejujuran. Misalnya, sang penjual memgembalikan jumlah kembalian uang melebihi jumlah yang seharusnya. Dalam perhitungan matematika jika kita membeli satu kilogram manggis dengan harga Rp 32.000 dan kita membayarnya dengan uang Rp 50.000, maka uang kembaliannya adalah Rp 18.000. Mudah bukan? Dalam teori, kita mudah sekali menjawab jawaban yang benar, namun dalam realita belum tentu demikian. Misalnya pedagang manggis tersebut memberikan uang kembalian Rp 19.000. Kembalian tersebut hanya lebih Rp 1000 dari yang seharusnya bukan? Namun alangkah lebih baik jika tidak menyepelekan uang Rp 1000 tersebut, karena dalam soal matematika jika kita membiarkan Rp 19.000 tetap menjadi jawabannya, maka jawaban itu sudah pasti salah.

Misalnya timbul pertanyaan dan pernyataan seperti ini.

“Kenapa saya harus mengembalikan? Lagipula hanya Rp 1000.”

“Salah pedagangnya sendiri yang memberikan uang kembalian yang bukan seharusnya.”

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Jika kita menanamkan kejujuran, tentunya kita akan memberikan kelebihan uang kembalian tersebut. 

Saya rasa semua orang pernah mengalami hal tersebut dalam transaksi. Saya juga pernah mengalaminya. Ketika uang kembalian melebihi dari yang seharusnya. Saya mengembalikan uang tersebut kepada sang pedagang. 

“Bu, ini kembaliannya kelebihan.” Ujar saya seraya mengembalikan kelebihan uang.

“Oh iya ya? Oh iya saya salah mengembalikan” Ujar sang pedagang seraya menghitung ulang dan tersenyum.

“Terima kasih ya!” Ujar sang pedagang lagi dengan wajah ceria.

Ilustrasi diatas merupakan wujud nyata yang sering terjadi dalam kehidupan sehari – hari. Indah bukan? Ketika kita jujur, orang lain turut senang dan menghargai kejujuran kita. Kejujuran yang saya lakukan adalah kejujuran kecil, tapi kejujuran ini berdampak besar bagi kehidupan saya. Saya merasa senang karena sudah jujur.

Kejujuran itu penting sekali ditanamkan sejak dini, agar menciptakan generasi bangsa yang tidak mudah bersikap curang. Salah satu contoh kecurangan yang sering terjadi yaitu dalam Ujian Nasional. Ujian Nasional merupakan “ritual” yang harus dilalui peserta didik sebelum dinyatakan lulus. Banyaknya praktik kecurangan, membuat pemerintah terus berupaya untuk menekan tingkat kecurangan ini. Salah satu cara mengantisipasinya adalah membuat soal UN menjadi lima paket, dua puluh paket, dan lain sebagainya. Sewaktu saya SMA, guru bimbingan konseling saya mengatakan bahwa ketidakjujuran itu membuat hati menjadi tidak tenang. 

“Kalau mengerjakan soal usahakan yang jujur, kalau kalian tidak jujur dan nilai kalian bagus pasti ada rasa bersalah di dalam diri kalian. Kalian bisa membohongi orang lain tapi kalian tidak bisa membohongi diri sendiri.” Kata beliau saat itu. 

Dalam aspek ini, kejujuran  masuk kedalam norma kesusilaan. Sanksi dalam norma kesusilaan adalah merasa ketidaktenangan di dalam hati.

Bicara soal kejujuran adalah hal yang menarik, karena jika seseorang jujur, ia tidak akan melakukan tindakan kriminal. Guru Bahasa Indonesia saya sewaktu SMA pernah memberikan salah satu ilustrasi kejujuran dalam kehidupan.

“Kalau ada sesuatu diatas meja dan itu bukan milik kamu, kamu ambil gak?. Kalau kamu jujur, pasti kamu tidak akan mengambilnya, karena itu bukan punya kamu.” Kurang lebih seperti itu perkataan beliau.

Hal ini sangat masuk akal, karena disaat ada kesempatan “mengambil” sebesar apapun, jika seseorang memiliki sikap jujur, pasti dia tidak akan mengambil yang bukan miliknya, atau jika pun mengambilnya, maka bermaksud untuk mengembalikan kepada yang punya benda tersebut.

Kejujuran juga sangat erat kaitannya dengan aspek keagamaan. Lho? Apa iya? Tentu saja. Seseorang yang jujur pasti merasa diawasi oleh Tuhannya. Seseorang yang meyakini bahwa Allah Maha Melihat, pasti tidak akan melakukan hal tercela. Seseorang yang takut akan dosa pasti tidak akan melakukan hal tercela dan salah satunya adalah berbuat curang.

Kejujuran itu penting ditanamkan sejak dini, agar generasi penerus bangsa ini tidak melulu memikirkan how to get a much money? How and how?, yang pada akhirnya menghalalkan segala cara untuk memperkaya diri. Kejujuran itu dekat dengan rasa bersyukur. Karena jika kita jujur atas apa yang kita miliki, atas apa yang kita dapatkan, kita akan mendapatkan rasa kepuasan batin, rasa bersyukur atas apa yang telah Allah beri.

Dalam perilaku konsumsi, jika seseorang memiliki pendapatan yang tinggi, maka semakin bertambah pula konsumsinya. Seseorang yang memiliki pendapatan yang tinggi juga cenderung memiliki gaya hidup yang tinggi. Inilah mengapa banyak praktik kecurangan dalam kehidupan. Mengapa orang – orang cenderung bersikap demikian? Hal ini ada kaitannya dengan Hedonic Treadmill
 
Saya pernah membaca mengenai Hedonic Treadmill dalam sebuah blog. 

Misalnya ketika seseorang memiliki penghasilan Rp 5.000.000 uang tersebut habis terpakai, dan ketika ia memiliki penghasilan Rp 50.000.000 uang tersebut juga habis terpakai. 

Mengapa demikian?

Hal ini terjadi karena disaat ia memiliki penghasilan Rp 5.000.000, ia hanya bisa mengkredit motor. Lalu, disaat penghasilannya Rp 50.000.000, hal yang diinginkannya juga berubah, yang tadinya memiliki motor saja cukup, sekarang beralih untuk memiliki mobil, dan begitu seterusnya.

Hal inilah yang membuat praktik kecurangan terjadi. Adanya rasa ketidakpuasan terhadap apa yang sudah dimiliki. Praktik kecurangan juga erat kaitannya dengan lingkungan. Seseorang yang terbiasa hidup di lingkungan mewah, maka ia cenderung mengikuti kebiasaan hidup orang – orang di lingkungannya. Lalu apa yang terjadi jika orang tersebut tidak memiliki daya konsumsi yang sama dengan rekannya? Tentunya akan terjadi praktik kecurangan seperti korupsi misalnya.

Kejujuran merupakan hal yang sensitif. Ini menyangkut keberanian seseorang. Seseorang yang jujur akan berani mengungkap kebenaran, dan seorang yang jujur akan tegas menolak segala bentuk kecurangan.

Nah, maka dari itu sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, mari kita gerakkan sikap kejujuran. Aku anak jujur, karena jujur membawa hal yang mujur. Aku anak jujur, karena aku tak mau kepribadianku berjalan mundur. Jujurlah pada diri sendiri, Jujurlah pada dunia, Jujurlah pada Allah, karena kejujuran dekat dengan kedamaian.

Yuk Jadi Orang yang Jujur :)